A. Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Rasul memegang amanat berdakwah,
menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi Muhammad
SAW sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para
sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala
keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak
menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan
tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan
hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang
didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits
dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi
SAW.
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di
masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh
hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti
dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya
untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari
ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang
bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan
Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas.
Dengan demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui
Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu
dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris menyatakan
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)
Saya (Malik
bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami
tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang
dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga
kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian,
ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib
al-Awsiy telah menyatakan:
ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ
بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب
Tidaklah kami semua
(dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada
yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu
orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi).
Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis
itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang
diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi,
melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para
sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran
penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian,
khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah
atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan para
sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca
tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal,
memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan
sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa Nabi, bukan
berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits
terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya:
a. ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M),
shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis
hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dll
c. Anas bin Malik
d. Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e. Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f. Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g. Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa
cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau
tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui
majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya.
Kedua, dalam
banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh
Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal
keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri,
Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan
tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang
telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman
mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi
bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian)
dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi,
“bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”.
Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda :
Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata :
“Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah
seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh
‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan.
Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di
atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya
kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika
futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631
M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang
muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya,
yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik
ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi
menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya
suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya
kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum
karena khawatir campur antara hadits dan Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat
sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis diatasnya dalam bentuk satu catatan atau
satu lembar pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya,
tetapi banyak juga hadits yang perintah menulisnya. Diantara hadits yang
melarang penulisannya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Abu
Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “Janganlah engkau tulis dari
padaku, barang siapa yang menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah.
(HR. Muslim)
Sedang Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak
sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat
anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya
kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada
Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
عل حفظك بيمينكاستعن
Bantulah hafalanmu
dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas para ulama
berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang
penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang membolehkannya. Lebih dari
itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu
Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri. Bahkan semua hadis larangan
penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian
penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka
memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah sampai sekarang dan
kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan
pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan,
antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah
islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat,
surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits juga. Hal ini sekaligus
membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan hadits
dikalangan sahabat.
B. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi
mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi
secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai
dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat
Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar
al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab
(wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin
Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal
denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman
Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’
al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu
sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini
disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa
al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat
pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang
hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih
hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits
itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang
periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M),
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman
Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada
seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta
yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat
petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada
nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin
Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris
kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak
bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam
melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk
menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis,
maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak
banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat
akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi
wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu
Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan
sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada
zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi
sangat singkat.
Ø Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini
terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay
bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para
sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis
Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata
kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya
berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak
periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali
melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju
kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat
terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar
menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau
setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i,
sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan
oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga
menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits
dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang
tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa
‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak
jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya.
Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para
sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar
hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan
pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati
itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan
hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat
menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan
hadits : pertama,para sahabat, sebagaimana dirintis oleh
al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu
riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat
menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat
setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena
tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para
sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana
dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan
hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin
‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para
sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam, diantara
para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan
mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba
menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu
bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku
punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian
yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan
kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab
Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalahtasyabbuh atau
menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab
Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para
Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan
Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti
melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum
memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu
hadits, yaitu :
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang
mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka
meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam
akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam
terpecah menjadi tiga golongan :
1. Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali,
diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap ‘Ali.
2. Khawarij, golongan pemberontak yang tidak
setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini
semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji
perdamaian.
3. Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang
mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada
pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
Selengkapnya kunjungi:
sumber : http://zulkhulafair.blogspot.co.id/2012/10/sejarah-perkembangan-hadis-pada-masa.html
0 komentar:
Post a Comment