Sunday, November 13, 2016

Filled Under:

SEMANTIK AL QUR'AN(Referensiku)


Semantik Al-Qur’an (Sebuah Metode Penafsiran)
A. Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling sakral bagi umat Islam, di dalamnya terdapat semua sumber hukum yang berlaku dalam kehidupan umat tersebut. Al-Qur’an sendiri diyakini sebagai kitab suci yang menyimpan banyak pengetahuan dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, banyak akademisi yang berusaha untuk memahami Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang. Pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an kemudian diolah kembali sesuai dengan tt5hpemahaman sang pembaca menjadi sebuah konsep pengetahuan tersendiri dalam pemikiran pembaca tersebut. konsep-konsep ini yang nantinya dikenal dengan sebutan tafsir.

Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah dimulai sejak era Al-Qur’an diturunkan. Pada masa tersebut metode yang dipakai adalah tafsir Qur’an dengan Qur’an yang meliputi tafsir ayat dengan ayat. Selain itu dikenal juga tafsir Qur’an dengan hadis, dimana penafsir tersebut adalah Nabi saw sebagai orang yang juga menyampaikan Al-Qur’an kepada umatnya.

Tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan yang cukup luas setelah masa Nabi saw. ada beberapa aliran tafsir yang muncul kemudian sesuai dengan disiplin ilmu yang dipakai dalam metode penafsiran, antara lain: tafsir maudhu’i, tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir sufi, tafsir isyari, tafsir ilmiy dan tafsir sastra. Ragam model penafsiran ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bisa dipahami dari berbagai macam pendekatan.
Pada era kontemporer, para sarjana mulai mengalihkan pemikiran mereka pada metode kebahasaan, seperti Amin al-Khulliy dan Bintu Syathi’ dengan tafsir bayani, M. Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd dan Fazlur Rahman dengan hermeneutika linguistiknya dan Toshihiko Izutsu yang lebih menekankan pada semantik historis kebahasaan Al-Qur’an.

Dalam makalah ini akan dibahas tentang semantik Al-Qur’an yang menjelaskan penafsiran Al-Qur’an secara kata-perkata. Semantik Al-Qur’an lebih luas cakupan penafsirannya dan bersifat spesifik terfokus pada kata-kata tertentu yang memiliki makna dan konsep yang ditawarkan Al-Qur’an kepada para pembacanya. Oleh karena itu, metode tafsir ini jarang sekali dipakai dalam penyusunan sebuah kitab tafsir kontemporer. Para sarjana lebih cenderung menggunakan metode linguistik yang lebih umum dan lebih mudah dipahami untuk disampaikan kepada pembacanya ketika ingin memahami pengetahuan-pengetahuan yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

B.       Pengertian Semantik

Semantik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani semantikos yang memiliki arti memaknai, mengartikan dan menandakan.[1] Dalam bahasa Yunani, ada beberapa kata yang menjadi dasar kata semantik yaitu semantikos (memaknai), semainein (mengartikan), dan sema (tanda). Sema juga berarti kuburan yang mempunyai tanda yang menerangkan siapa yang dikubur disana.[2] Dari kata sema, semantik dapat dipahami sebagai tanda yang memiliki acuan tertentu dan menerangkan tentang asal dimana kata itu disebutkan pertama kali. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Pateda yang menyetarakan kata semantics dalam bahasa Inggris dengan kata semantique dalam bahasa Prancis yang mana kedua kata tersebut lebih banyak menjelaskan dengan kesejarahan kata.[3]

Adapun secara istilah semantik adalah ilmu yang menyelidiki tentang makna, baik berkenaan dengan hubungan antar kata-kata dan lambang-lambang dengan gagasan atau benda yang diwakilinya, maupun berkenaan dengan pelacakan atas riwayat makna-makna itu beserta perubahan-perubahan yang terjadi atasnya atau disebut juga semiologi.[4] Semantik juga berarti studi tentang hubungan antara simbol bahasa (kata, ekspresi, frase) dan objek atau konsep yang terkandung di dalamnya, semantik menghubungkan antara simbol dengan maknanya.[5]

Semantik lebih dikenal sebagai bagian dari struktur ilmu kebahasaan (linguistik) yang membicarakan tentang makna sebuah ungkapan atau kata dalam sebuah bahasa.[6] Bahasa sendiri menurut Plato adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantara onomate dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.[7] Dalam pengertian ini, bahasa terkait dengan kondisi sekitar pemakainya sehingga makna dari sebuah kata (ucapan) terkait erat dengan orang yang mengucapkan dalam konteks diketahui latar belakang sang penutur ketika dia mengucapkan kata tersebut agar bisa dibedakan dengan pemakai yang lain.[8]

Sebuah kata terikat kuat dengan orang yang menuturkannya, makna katapun bergantung pada orang yang mengucapkannya. Seseorang tidak akan mengetahui seseorang yang mengungkapkan suatu pendapat sebelum dia menyamakan persepsinya tentang makna kata terhadap orang yang mengucapkan pendapat tersebut. Contohnya kata makanan, dalam bahasa Indonesia kata tersebut memiliki makna jenis-jenis benda yang bisa dimakan atau segala sesuatu yang baik untuk dimakan. Berbeda dengan suku Banjar di Kalimantan yang memaknai makanan sebagai ajakan untuk makan.

Contoh lain adalah kata bekajang. Dalam bahasa Bugis, kata tersebut memiliki makna berkelahi atau membuat kerusuhan, sedangkan dalam bahasa Melayu kata bekajang dimaknai sebagai berteduh dari hujan. Contoh lain adalah kata menggauli. Sebagian besar orang Indonesia pada masa sekarang memaknai kata tersebut sebagai prilaku seksual. Akan tetapi jika dilihat kesejarahan katanya, kata tersebut memiliki makna yang lebih umum yaitu berteman atau membuat pertemanan dengan seseorang.

Dari contoh-contoh diatas dapat diketahui bahwa sebuah kata memiliki makna yang beragam bergantung pada siapa yang mengucapkan dan mengungkapkannya. Oleh karena itu, semantik digunakan untuk mengungkap makna yang sebenarnya dari kata-kata yang mengandung makna dan konsep tertentu sehingga kata tersebut bisa dipahami dengan jelas tanpa ada kekeliruan ketika mendengar ataupun membacanya.

C.      Semantik Al-Qur’an

Ketika membicarakan tentang Al-Qur’an, kita tidak akan bisa lepas dari bahasa yang digunakan karena Al-Qur’an menggunakan bahasa sebagai media komunikasi terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw, Allah memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima petamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab, bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia.”[9] Dengan demikian, kerangka komunikasi dalam bingkai ini terdiri dari: Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirimkan pesan, Muhammad saw. sebagai komunikator pasif, dan bahasa Arab sebagai kode komunikasi.[10] Hal senada juga disampaikan Syahrur yang berpendapat bahwa bahasa adalah satu-satunya media yang paling memungkinkan untuk menyampaikan wahyu. Wahyu Al-Qur’an berada pada wilayah yang tidak dapat dipahami manusia sebelum ia menempati media bahasanya.[11]

Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran agama. Bahasa juga merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami Al-Qur’an, seseorang harus memahami bahasa yang dipakai oleh Al-Qur’an, mengetahui dengan jelas makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa sendiri merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna dan merujuk pada objek tertentu, baik itu objek fisik maupun objek psikis. Oleh karena itu, diperlukan metode yang bisa mengungkap makna yang terdapat di dalam kata-kata tersebut sehingga bisa dihasilkan sebuah pemahaman yang menyeluruh terhadap rangkaian kata dan bahasa yang terdapat di dalam dalam sebuah ucapan maupun tulisan.

Al-Qur’an merupakan tulisan dari kalam Ilahi yang disampaikan melalui lisan Muhammad saw. Wahyu yang awalnya berbentuk ucapan kemudian dibukukan dalam bentuk tulisan agar tidak terjadi kekeliruan di masa yang akan datang ketika ajaran tersebut mulai menyebar luas. Di sisi lain, media tulisan merupakan media efektif yang terjamin orisinalitasnya dari sang penulis dan bisa dibawa kemana saja tanpa takut akan kehilangan detail dari memori tentang suatu hal.

Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa salah satu sebab terjadinya pembukuan Al-Qur’an adalah banyaknya para sahabat penghapal Al-Qur’an yang meninggal dalam peperangan. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian ajaran dan orisinalitasnya, khalifah Islam pada saat itu meminta Al-Qur’an untuk dibukukan. Jadi secara tidak langsung, Al-Qur’an terikat pada keadaan dimana ia diturunkan ke dunia ini. Bahasa yang digunakan juga mengikut pada bahasa kaum yang menerimanya. Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang disampaikan ulang oleh manusia sesuai dengan kemampuan berbahasanya ketika ia menerima wahyu untuk disampaikan kepada kaumnya dengan tujuan kaumnya bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Al-Qur’an yang kita pegang saat ini memuat bahasa 14 abad yang lalu. Kita tidak akan mengerti makna dan pengetahuan apa saja yang terdapat di dalam Al-Qur’an jika tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada saat ia diturunkan. Menurut Amin al-Khuli, salah satu cara memahami isi Al-Qur’an adalah dengan melakukan studi aspek internal Al-Qur’an. Studi ini meliputi pelacakan perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tertentu di dalam Al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna ini dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologi-sosial dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.[12]

Berdasarkan ungkapan di atas, pemaknaan Al-Qur’an terikat oleh historisitas kata yang digunakan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, semantik merupakan salah satu metode yang ideal dalam pengungkapan makna dan pelacakan perubahan makna yang berkembang pada sebuah kata sehingga bisa diperoleh sebuah makna yang sesuai dengan maksud penyampaian oleh sang author (Tuhan). Pendekatan yang cocok dalam pengungkapan makna serta konsep yang terkandung di dalam Al-Qur’an diantaranya adalah semantik Al-Qur’an.

Jika dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balagah yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut diantaranya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna yang berkaitan.[13] Selain itu, medan perbandingan makna antara satu kata dengan kata yang lain dalam semantik mirip dengan munasabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan semantik cukup identik dengan ulum al-Qur’an, walaupun terdapat perbedaan dalam analisisnya dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historisitas kata untuk mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.[14]

Adapun pengertian semantik menurut Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[15] Disini ia menekankan pada istilah-istilah kunci yang terikat pada kata per kata. Jadi semantik lebih terfokus pada kajian kata, bukan bahasa secara umum. Kata sendiri merupakan bagian bahasa dimana huruf adalah bagian terkecilnya. Huruf yang terangkai menjadi frase dan bergabung hingga memiliki suatu rangkaian yang bermakna, merupakan sebuah simbol yang terdapat dalam bahasa. Ketika rangkaian huruf dan frase telah memiliki makna, maka ia disebut sebuah kata. Dalam perjalanan sejarah perkembangannya, kata yang awalnya hanya memiliki satu makna asli (dasar) mengalami perluasan hingga memiliki beberapa makna. Hal ini yang menjadi fokus metode semantik dalam mengungkap konsep-konsep yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Adapun istilah Semantik Al-Qur’an mulai populer sejak Izutsu memperkenalkannya dalam bukunya yang berjudul “God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung”. Izutsu memberikan definisi semantik Al-Qur’an sebagai kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci yang terdapat di dalam Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Al-Qur’an agar diketahui weltanschauung Al-Qur’an, yaitu visi Qur’ani tentang alam semesta.[16]

Untuk mewujudkan visi Qur’ani tentang alam semesta, Izutsu meneliti tentang konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa unsur pokok dunia, dan bagaimana semua itu terkait satu sama lain. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari Al-Qur’an dengan menelaah konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Konsep-konsep pokok itu sendiri adalah konsep-konsep yang memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap alam semesta.[17]

Konsep pokok yang terkandung dalam makna kata-kata Al-Qur’an dijelaskan dalam beberapa langkah penelitian, yaitu:

Pertama, menentukan kata yang akan diteliti makna dan konsep yang terkandung di dalamnya. Kemudian menjadikan kata tersebut sebagai kata fokus yang dikelilingi oleh kata kunci yang mempengaruhi pemaknaan kata tersebut hingga membentuk sebuah konsep dalam sebuah bidang semantik. Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus menunjukkan dan membatasi bidang konseptual yang relatif independen berbeda dalam keseluruhan kosa kata yang lebih besar dan ia merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata kunci tertentu. Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia Al-Qur’an. Sedangkan medan semantik adalah wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh beragam hubungan diantara kata-kata dalam sebuah bahasa.[18]

Kedua, langkah berikutnya adalah mengungkapkan makna dasar dan makna relasional dari kata fokus. Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata pada posisi khusus dalam bidang khusus, atau dengan kata lain makna baru yang diberikan pada sebuah kata bergantung pada kalimat dimana kata tersebut digunakan.[19] Makna dasar bisa diketahui dengan menggunakan kamus bahasa Arab yang secara khusus membahas tentang kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an. Sedangkan makna relasional dapat diketahui setelah terjadinya hubungan sintagmatis antara kata fokus dengan kata kunci dalam sebuah bidang semantik.[20]

Ketiga, langkah selanjutnya adalah mengungkapkan kesejarahan makna kata atau semantik historis. Dalam pelacakan sejarah pemaknaan kata ini ada dua istilah penting dalam semantik, yaitu diakronik dan sinkronik. Diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang menitikberatkan pada unsur waktu. Sedangkan sinkronik adalah sudut pandang tentang masa dimana sebuah kata lahir dan mengalami perubahan pemaknaan sejalan dengan perjalanan sejarah penggunaan kata tersebut dalam sebuah masyarakat penggunanya untuk memperoleh suatu sistem makna yang statis. Dalam pelacakan sejarah kata dalam Al-Qur’an, secara diakronik melihat penggunaan kata pada masyarakat Arab, baik pada masa sebelum turunnya Al-Qur’an, pada masa Nabi saw, pada masa setelah Nabi saw hingga era kontemporer untuk mengetahui sejauh mana pentingnya kata tersebut dalam pembentukan visi Qur’ani. Sedangkan secara sinkronik lebih menitikberatkan pada perubahan bahasa dan pemaknaannya dari sejak awal kata tersebut digunakan hingga ia menjadi sebuah konsep tersendiri dalam Al-Qur’an yang memiliki makna penting dalam pembentukan visi Qur’ani.

Keempat, setelah mengungkapkan kesejarahan kata dan diketahui makna dan konsep apa saja yang terkandung di dalam kata fokus, langkah terakhir adalah mengungkapkan konsep-konsep apa saja yang ditawarkan Al-Qur’an kepada pembacanya agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuklah kehidupan yang berlandaskan aturan-aturan Qur’an (Allah), dan mewujudkan visi Qur’ani terhadap alam semesta. Hal ini lebih terlihat pada implikasi pemahaman konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari dimana konsep yang ditawarkan oleh Al-Qur’an bisa menjadi sebuah gaya hidup baru yang lebih baik.

langkah-langkah di atas dapat dirangkum dalam beberapa langkah penelitian yang meliputi : 1. penentuan kata fokus dan kata kunci, 2. makna dasar dan makna relasional, 3. struktur inti, 4. medan semantik. (keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ditulis oleh Fauzan Azima dengan judul “Konsep Rahmat Dalam Al-Qur’an: Kajian Semantik).

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa semantik Al-Qur’an bertujuan untuk memberikan pemahaman baru terhadap apa yang ditawarkan oleh Al-Qur’an kepada manusia agar mereka bisa mengaplikasikan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

D.      Metode Semantik dalam Penafsiran Al-Qur’an

Penggunaan semantik dalam penafsiran Al-Qur’an sedianya telah dimulai sejak era klasik. Namun pada saat itu belum ada cabang keilmuan semantik yang independen. Penulis sendiri meragukan akan adanya disiplin ilmu linguistik sebagai metode pendekatan dalam penafsiran pada era tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa embrio penafsiran dengan menggunakan semantik sudah dilakukan, walaupun tidak secara spesifik menekankan pada aspek pemaknaan saja. Dalam pembahasan ini penulis membagi penjelasan dalam dua bagian, yaitu:

Era Klasik
Adapun yang dimaksud era klasik ini adalah masa-masa setelah Nabi saw wafat dan para penerus beliau mulai mencoba memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan kebahasaan terhadap ayat-ayat yang rancu atau sulit diterima logika.

Embrio dari penafsiran secara semantik terlihat ketika Mujahid Ibn Jabbar mencoba mengalihkan makna dasar kepada makna relasional pada ayat 34 surah al-Kahfi:

وكان له ثمر فقال لصاحبه وهو يحاوره أنا أكثر منك مالا وأعز نفرا

Artinya: “Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”.

Kata tsamar pada ayat diatas memiliki makna dasar buah-buahan. Akan tetapi oleh Mujahid kata tersebut dimaknai dengan emas dan perak (harta kekayaan). Perubahan makna tersebut terjadi sebagai arti pentingnya konteks masyarakat pada saat itu. [21]

Ulama lain yang ikut andil dalam cikal bakal studi semantik adalah Ibn Juraij. Ia membedakan antara makna bawaan dengan makna fungsional. Makna bawaan adalah makna asli dari kata tersebut yaitu makna dasar, sementara makna fungsional lebih mengacu kepada makna yang selalu berubah sesuai dengan konteks ayat tersebut yang juga disebut dengan makna relasional. Ibn Juraij juga menekankan pentingnya konteks sebuah ayat dalam Al-Qur’an dalam pergeseran makna kata di dalam Al-Qur’an yang mana makna asli kata tersebut bisa berubah menjadi makna lain sesuai dengan konteksnya. Salah satu contoh penafsirannya adalah surah al-Hajj ayat 5:

يا أيها الناس إن كنتم في ريب من البعث فإنا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم ونقر في الأرحام ما نشاء إلى أجل مسمى ثم نخرجكم طفلا ثم لتبلغوا أشدكم ومنكم من يتوفى ومنكم من يرد إلى أرذل العمر لكيلا يعلم من بعد علم شيئا وترى الأرض هامدة فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت وأنبتت من كل زوج بهيج

Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”

Kata hamidatan (هامدة) pada ayat diatas memiliki makna dasar “kering”. Kemudian kata tersebut ditafsirkan oleh Ibn Juraij dengan makna “tidak terdapat tanaman sama sekali”.[22]

Kesadaran semantik dalam penafsiran Al-Qur’an dimulai sejak masa Muqatil Ibn Sulayman. Menurut beliau, setiap kata di dalam Al-Qur’an memiliki makna definitif (makna dasar) dan memiliki beberapa alternatif makna lainnya. Contohnya adalah kata yadd (يد). Kata yadd memiliki makna dasar “tangan”. Dalam penafsirannya, kata yadd memiliki tiga alternatif makna, yaitu tangan secara fisik yang merupakan anggota tubuh dalam surah al-A’raf ayat 108, dermawan dalam surah al-Isra’ ayat 29, dan aktivitas atau perbuatan dalam surah Yasin ayat 35.[23]

Generasi penerus Muqatil terus berkembang dan mulai menggunakan kesadaran semantiknya dalam penafsiran Al-Qur’an. Ulama-ulama tersebut antara lain: Harun Ibn Musa, Yahya Ibn Salam, al-Jahiz, Ibn Qutaibah dan Abd al-Qadir al-Jurjaniy. Ulama-ulama tersebut sangat menekankan pentingnya pemaknaan konteks dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka juga membedakan antara makna dasar dan makna relasional. Bahkan al-Jahiz memberikan istilah “ruang semantis” tentang keterkaitan antara satu kata dengan kata yang lain yang bisa mempengaruhi makna kata dalam Al-Qur’an.[24]

2. Era Kontemporer

Pada masa sekarang ini, penulis belum menemukan jumlah pasti tentang sarjana yang menggunakan metode semantik sebagai fondasi dasar dalam penafsiran Al-Qur’an. Hal ini bisa saja disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya dengan munculnya ilmu balagah sebagai disiplin ilmu kebahasaan yang memiliki metode yang mirip dengan metode semantik; munculnya tafsir sastra yang dipelopori oleh Amin al-Khulliy dimana ia menekankan aspek mikrostruktural makna ayat dalam metode penafsirannya; dan munculnya metode linguistik-hermeneutik dalam khazanah penafsiran Al-Qur’an sehingga semantik hanya digunakan sebagai alat bantu penafsiran, bukan sebagai metode pokok.

M. Syahrur dalam kitab “al-Kitab wa al-Kuna: Qira’ah Mu’ashirah” sudah menunjukkan kecenderungan semantik dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini terlihat jelas ketika ia membedakan antara makna kata al-kitab dan al-qur’an sebagai nama untuk sebutan mushaf Usmaniy saat ini.

Adapun tokoh kontemporer yang sangat kentara dalam penggunaan semantiknya adalah Toshihiko Izutsu. Dalam bukunya yang berjudul “God and Man in the Koran”, ia meletakkan pondasi semantik dalam menganalisis kata Allah secara menyeluruh. Ia kemudian melanjutkan metodenya tersebut dalam buku lainnya yang berjudul “Concept of Believe in Islamic Theology” dimana ia menjelaskan tentang makna iman dan islam lengkap dengan semantik historisnya. Dalam bukunya yang terakhir yang berjudul “Ethico-Religious Concept in the Qur’an”, ia menyempurnakan metode semantiknya dengan menambah pembahasan tentang struktur batin yang mengungkapkan konsep dasar yang terdapat dalam kata fokus, dan medan semantik yang membahas lebih dalam tentang kata-kata kunci yang mengelilingi kata fokus serta pengaruh kata kunci tersebut dalam pemaknaan kata fokus.

Selanjutnya penulis mencoba melihat ke Indonesia. Ada beberapa karya yang sudah menggunakan metode semantik dalam memaknai kata-kata dalam Al-Qur’an walaupun tidak secara menyeluruh dan hanya menguraikan makna dasar serta makna relasionalnya. Diantara tokoh-tokoh tersebut antara lain M. Dawam Raharjo dalam bukunya “Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci”. Dalam buku tersebut, Raharjo mencoba mengungkapkan makna dan konsep yang terkandung dalam kata-kata kunci di dalam Al-Quran secara tematik. Karya lain yang juga terpengaruh metode semantik adalah “Memasuki Makna Cinta” yang ditulis oleh Abdurrasyid Ridha. Karya ini hanya terfokus pada pemaknaan kata hubb dan kata-kata lain yang memiliki hubungan makna dengan kata tersebut.

Adapun dari akademisi UIN Yogyakarta, ada beberapa karya istimewa yang mengaplikasikan semantik sebagai metode penelitiannya. Yang paling kentara adalah karya Chafid Wahyudi yang berjudul “Pandangan Dunia Al-Qur’an tentang Taubah”. Dalam karya ini ia mencoba memasuki makna taubah secara mendalam dengan menggunakan semantik Al-Qur’an. Karya berikutnya adalah aplikasi dari semantik historis yang digunakan dalam skripsi yang berjudul “Term Islam di dalam Al-Qur’an”. Dalam skripsi ini dibahas tentang kesejarahan kata dari masa Arab Pagan hingga periode Madinah serta perubahan makna yang terjadi pada kata tersebut.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa semantik telah menjadi bagian tersendiri dalam penafsiran Al-Qur’an. Penggunaan semantik telah dimulai sejak masa klasik yang diawali oleh Tabi’in yang bernama Mujahid Ibn Jabbar yang kemudian dikembangkan oleh Muqatil dan terus diaplikasikan oleh ulama-ulama generasi selanjutnya. Selain itu kita juga dapat mengetahui bahwa semantik bukan metode baru dalam penafsiran, akan tetapi penggunaan kata semantik Al-Qur’an itu baru terungkap pada era kontemporer saat ini karena pada masa klasik para sahabah maupun tabi’in kemungkinan besar belum mengenal apa itu “semantik” secara leksikal.

E.       Contoh Aplikasi Metode Semantik

Untuk mengenal lebih jauh tentang metode penafsiran dengan menggunakan analisis semantik, penulis mencoba menjelaskan sebuah contoh penafsiran. Dalam hal ini penulis mencoba untuk menerangkan konsep syaitha>n (شيطان) dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an kata syaitha>n disebutkan sebanyak 70 kali dalam dua bentuk, yaitu syaitha>n dan syaya>thi>n (شياطين).[25]

Makna Dasar dan Makna Relasional
Secara bahasa kata syaithan berasal dari kata syathana (شطن) yang berarti tali, dikatakan sebagai tali yang panjang dan kuat. Selain itu syaithan juga dimaknai dengan sikap pemberontakan dari golongan jin dan manusia.[26] Adapun menurut al-Ashfahaniy, kata syathana memiliki arti menjauh atau sesuatu yang jauh. Abu ‘Ubaidah berkata: “Syaithan itu adalah sebutan bagi setiap kekuatan dari bangsa jin, manusia dan hewan”. Disebutkan juga bahwa syaithan itu adalah makhluk yang berasal dari api, dalam hal ini syaithan disamakan dengan jin.[27]

Syaithan juga dimaknai sebagai pribadi yang tugasnya melancarkan tipu daya, diungkapkan dalam Al-Qur’an sebagai musuh.[28] Dalam menjelaskan tentang syaithan, Dawam Raharjo membedakan antara Iblis dan syaithan. Menurutnya Iblis berasal dari kata balasa yang artinya putus asa, dihukum, diam dan menyesal. Sedangkan syaithan berarti merenggang atau menjauh. Keduanya identik tapi memiliki fungsi yang berbeda. Iblis adalah dorongan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, sedangkan syaithan merupakan arus yang berasal dari luar.[29]

Dalam tradisi Kristen, syaithan dimaknai dengan kekuatan kejahatan yang sangat dahsyat. Sedangkan dalam tradisi Israel, setan memiliki makna musuh atau musuh besar. Syaithan juga dianggap sebagai kekuatan-kekuatan jahat. Dalam tradisi agama-agama kuno, syaithan dianggap sebagai dewa kehancuran. Dalam mitologi Yunani, syaithan adalah pemimpin para malaikat yang memberontak kepada Tuhan. Ia dikenal dengan sifat jahat, cerdik, penipu, suka menentang dan berbahaya.[30]

Dalam Al-Qur’an syaithan digambarkan sebagai sosok yang licik dan pandai menggoda. Hal ini diceritakan pada surah al-Baqarah ayat 36:

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

Artinya: “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itudan dikeluarkan dari keadaan semuladan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa syaithan adalah sosok makhluk yang menggoda Adam hingga ia dikeluarkan dari surga. Dalam ayat ini dipahami bahwa syaithan adalah sosok jahat Iblis yang berusaha mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga karena iblis telah dikeluarkan terlebih dahulu dikarenakan munculnya Adam.

Syaithan juga digambarkan sebagai sosok makhluk yang tunduk kepada manusia. Dalam menceritakan mu’jizat nabi Sulaiman, Allah berfirman:

فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ  وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ

Artinya: “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam”. (Q.S. Shad ayat 36-37).

Dalam ayat ini syaithan digambarkan sebagai manusia biasa yang tunduk pada Sulaiman sebagai pembuat bangunan dan ahli menyelam dalam lautan. Dalam tafsir Muhammad Ali dijelaskan bahwa syaithan disini adalah orang-orang asing yang menjadi tawanan perang.[31]

Lebih lanjut Al-Qur’an menjelaskan tentang kelicikan syaithan yang secara implisit bisa dimaknai dengan manusia yang mengajarkan tentang kesesatan.

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan mereka mengikuti apayang dibaca oleh syaitan-syaitanpada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikatdi negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 102).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa syaithan itu adalah golongan yang menyesatkan, dalam beberapa kitab tafsir seperti Tafsir ath-Thabariy dan Ibn Katsir dijelaskan bahwa ayat ini turun berdasarkan kabar dari golongan Yahudi yang menyebutkan bahwa Sulaiman adalah seorang tukang sihir. Jadi secara tidak langsung dapat diketahui bahwa syaithan disini adalah golongan Yahudi yang kafir yang ingin merusak kesucian Sulaiman sebagai hamba Allah sehingga Allah menurunkan ayat ini untuk membersihkan Sulaiman dari fitnah tersebut.
Dalam ayat lain syaithan juga digambarkan sebagai bisikan jahat yang merasuk dalam hati dan pikiran manusia agar mereka melakukan perbuatan jahat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (Q.S. Al-Maidah ayat 90-91).

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ  الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ  مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

Artinya: “Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”. (Q.S. An-Nas ayat 4-6).

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa syaithan itu selalu menyuruh manusia untuk berbuat kejahatan dengan membisikkan rencana-rencana yang licik dan menggoda nafsu manusia. Syaithan juga bukan hanya dari golongan manusia saja, akan tetapi ada juga dari golongan jin. Karena kedua golongan ini adalah golongan makhluk Allah yang sama kepandaiannya dan sama-sama hidup di dunia serta sama kemungkarannya dan sama-sama memiliki potensi untuk menjadi makhluk yang terkutuk.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa makna dasar dari syaithan adalah sesuatu yang menjauh, kepribadian yang jahat serta makhluk pembangkang. Sedangkan makna relasionalnya adalah ketika dia berasal dari jin, maka dia sudah membangkang sejak masa Adam diciptakan. Sedangkan yang berasal dari golongan manusia, ia membangkang kepada Tuhan sejak diberikan larangan.

Dari sini penulis menyimpulkan bahwa syaithan lebih kepada unsur kepribadian dan sifat yang terdapat dalam diri seseorang baik dari golongan jin dan manusia yang selalu mengarah pada kejahatan dan kerusakan serta permusuhan.

2. Struktur Batin

Setelah mengetahui makna dasar dan makna relasional yang terdapat dalam kata syaitha>n, penulis akan mengungkapkan pesan-pesan moral yang ada dalam ayat-ayat yang membahas tentang syaithan tersebut. Pesan-pesan moral ini lebih sering disebut dengan struktur batin atau intisari dari apa yang diajarkan dan ditawarkan oleh Al-Qur’an kepada manusia.

Dalam menjelaskan pembahasan ini, penulis membagi pada beberapa bagian, yaitu:

a)        Syaithan sebagai sumber kejahatan

Dalam beberapa ayat syaithan dijelaskan sebagai sosok makhluk yang selalu mengarahkan manusia ke arah kejahatan, sebagai pedoman dan panutan dalam melakukan kemaksiatan dan kerusakan.

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآَتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ

Artinya: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” (Q.S. Al-A’raf ayat 20).

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

Artinya: “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”. (Q.S. an-Nisa’ ayat 119).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 168-169).

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 268).

b)        Syaithan adalah makhluk yang terkutuk

Dalam beberapa ayat, syaithan seringkali disanding dengan kata ar-rajim (الرجيم) yang memiliki makna terkutuk. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh syaithan sangat tidak disukai oleh Allah. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa syaithan selalu mengajak manusia kepada kejahatan, hal ini bertentangan dengan perintah Allah yang selalu menyuruh manusia untuk melakukan kebajikan.

وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ

Artinya: “dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk”. (Q.S. Al-Hijr ayat 17).

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya: “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. (Q.S. An-Nahl ayat 98).

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ

Artinya: “Dan Al Qur’an itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk”. (Q.S. At-Takwir ayat 25).

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya: “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” (Q.S. Ali Imran ayat 36).

c)        Syaithan adalah musuh manusia

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa syaithan adalah musuh yang nyata bagi manusia karena ia selalu mempengaruhi dan memperdaya manusia untuk berbuat yang dilarang Allah. Disamping itu, Al-Qur’an juga tidak menafikan bahwa manusia juga bisa menjadi syaithan.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 168).

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

Artinya: “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. (Q.S. Al-Isra’ ayat 53).

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q.S. Fathir ayat 6).

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آَدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. (Q.S. Yasin ayat 60).

وَلَا يَصُدَّنَّكُمُ الشَّيْطَانُ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh syaitan; sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. Az-Zukhruf ayat 62).

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”. (Q.S. Al-An’am ayat 112).

3. Bidang Semantik

Makna sebuah kata dalam Al-Qur’an dipengaruhi oleh kata-kata yang muncul sebelum dan sesudahnya. Kata-kata tersebut membentuk jaringan konseptual yang bisa merubah makna dasar sebuah kata menuju kepada sebuah makna baru yang sesuai dengan isi kalimat tersebut atau disebut juga sebagai makna relasional.

Jaringan konseptual yang mempengaruhi makna kata disebut bidang semantik. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang paling rumit dalam metode semantik, karena setiap kata yang berada dalam bidang tersebut harus dijelaskan makna dan pengaruhnya. Oleh karena itu, penelitian dalam bidang semantik ini tidak bisa dikerjakan dalam hitungan hari, melainkan memakan waktu berbulan-bulan.

Disini penulis akan mencoba menjelaskan seadanya tentang bidang semantik kata syaithan. Dari ayat-ayat yang memuat kata syaithan, ada beberapa kata yang sering dicantumkan dan memberi pengaruh dalam pemaknaan kata ini. Kata-kata tersebut lebih menunjukkan kepada sisi negatif dari makna kata syaithan. Kata-kata tersebut antara lain: rajim, waliy, ‘aduw, dan fahsya’.

Kata syaithan menjadi kata fokus yang melingkupi kata kunci lainnya seperti kata rajim, waliy, ‘aduw, dan fahsya’. Sedangkan bulatan yang mengelilingi semua kata disamping adalah bidang semantik dari kata syaithan.

a)        Rajim. Secara bahasa rajim berasal dari kata rajama yang berarti bebatuan. Kata rajam diartikan sebagai hukuman dengan dilempar dengan batu. Ketika kata ini dikaitkan dengan kata syaithan, makna kedua kata ini menjadi sesuatu atau seseorang yang tertolak dari kebaikan dan diturunkan dari kedudukan malaikat yang ada di langit (diturunkan ke bumi atau diasingkan).[32]

b)        Waliy. Secara bahasa kata waliy bermakna melindungi atau menolong. Kata ini biasa digunakan dalam bentuk fa’ilnya dengan makna pelindung atau penolong. Kata ini memiliki bentuk jamak auliya>’ (أولياء).[33] Dalam Al-Qur’an kata ini seringkali disandingkan dengan kata syaithan ketika menjelaskan tentang orang-orang kafir dan munafik. Dalam hal ini kata syaithan memiliki makna sosok figur yang dianggap memiliki kekuasan dalam menolong orang lain baik dari golongan jin maupun manusia dan seringkali dianggap tandingan dari Allah sebagai Tuhan.[34]

c)        ‘Aduw. Secara bahasa kata ‘aduw memiliki makna musuh atau lawan. Menurut al-Ashfahaniy kata ini memiliki dua makna, yaitu dua kelompok yang saling bertentangan dan dua orang atau kelompok yang saling mengganggu satu sama lain.[35] Ketika kata ‘aduw disandingkan dengan kata syaithan, maka makna ayat selalu merujuk pada permusuhan dan pertentangan yang terjadi antara syaithan dan manusia, baik itu syaithan dalam makna makhluk jahat maupun sifat yang tercela atau bisikan yang mengajak pada kejahatan.[36]

d)       Fahsya’. Secara bahasa kata ini memiliki makna perbuatan jahat atau keji. Al-Ashfahaniy memaknai kata ini sebagai perbuatan dan perkataan yang sangat teramat keburukannya.[37] Kata ini dipahami dengan dosa yang luar biasa tingkat kerusakannya dalam berbagai hal. Ketika disandingkan dengan kata syaithan, kata ini menjadi ciri khas dari seseorang. Kata syaithan sendiri berubah makna menjadi sumber segala kerusakan dan kebencian yang dilakukan oleh manusia.[38]

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa makna kata syaithan yang awalnya adalah sesuatu yang menjauh atau terasing bisa berubah menjadi beragam makna sesuai dengan konteks saat kata itu digunakan dan struktur bahasa yang mempengaruhinya.

Dalam Al-Qur’an sendiri kata syaithan memiliki banyak makna, diantaranya adalah syaithan yang merujuk kepada sifat iblis atau iblis itu sendiri, syaithan sebagai sosok makhluk hidup berupa jin dan manusia, syaithan sebagai bisikan kejahatan yang ada dalam diri manusia, maupun syaithan sebagai sebuah sosok figur yang menjadi panutan dan musuh abadi manusia.

F.       Kesimpulan

Semantik sebagai salah satu cabang linguistik merupakan metode yang relevan dalam penafsiran Al-Qur’an. Dengan menggunakan metode semantik, peneliti bisa mengungkap makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan lebih matang dan lebih rinci. Dengan adanya langkah-langkah dan penjelasan yang mendalam secara kebahasaan, Al-Qur’an menjadi sebuah kitab petunjuk yang tidak ada keraguan di dalamnya. Selain itu, semantik juga mengungkapkan bahwa konsep atau pandangan dunia Al-Qur’an memuat banyak pesan-pesan yang berguna dalam kehidupan manusia.
 

DAFTAR PUSTAKA


Al-As}fahani, Abu> al-Qa>sim al-H{usaini bin Muhammad al-Ra>gib >, al-Mu’jam al-Mufrada>t fi Gari>b Al-Qur’a>n (Beirut: Dar El-Marefah, 2005).

Al-Mishri, Muh}ammad bin Mukarram bin Munz}ur >, Lisa>n al-Arab (Beirut: Dar Shadir, 1996).

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKiS, 2005).

Ba>qi>, M. Fua>d ‘Abdul, Mu’jam Mufahraz li Alfa>z Al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, 1992).

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).

Benton, William, Encyclopedia Britanica (USA: Encyclopedia Britanica Inc.,1965).

Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2006).

Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam Ringkas terj. Ghufron (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2003).

Kridalaksana, Harimukti, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1993).

Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007).

M. Yusron dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006).

Parera, J. D., Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990).

Prytherch, Ray, Harrod’s Librarians Glossaary (England: Gower,1995).

Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996).

Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006).

Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Kashiko, 2000).

[1]  William Benton, Encyclopedia Britanica (USA: Encyclopedia Britanica Inc.,1965), vol. 20, hlm. 3I3.

[2]  Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 981.

[3]  Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 3.

[4]  Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2006), hlm. 1016.

[5]  Ray Prytherch, Harrod’s Librarians Glossaary (England: Gower,1995), hlm. 579.

[6]  Harimukti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 19.

[7] Onomate dapat diartikan sebagai nama, nomina dan subjek. Sedangkan rhemata bisa diartikan sebagai jenis kata yang biasanya dipakai untuk mengungkapkan pernyataan atau pembicaraan baik itu dalam bentuk frase, verbal atau predikat. Lihat Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 34.

[8]  J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 27.

[9] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 19.

[10]  M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), hlm. 2.

[11] Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, hlm. 206.

[12] M. Yusron dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006), hlm.18.

[13] Dalam semantik istilah ini dikenal dengan sebutan makna dasar dan makna relasional.

[14] Lihat Toshihiko Izutsu dalam bukunya yang berjudul “Relasi Tuhan dan Manusia” (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2003).

[15] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,  hlm. 3.

[16] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 3.

[17] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,  hlm. 3.

[18] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,  hlm. 18-22.

[19] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,  hlm. 12.

[20] Untuk detail penjelasan terjadinya makna relasional dan pergeseran makna dasar kepada makna relasional, silahkan lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,  hlm. 10-16.

[21] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 138.

[22] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 144.

[23] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 170-171.

[24] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 172-177.

[25] M. Fua>d ‘Abdul Ba>qi>, Mu’jam Mufahraz li Alfa>z Al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 382-383.

[26] Muh}ammad bin Mukarram bin Munz}ur Al-Mishri>, Lisa>n al-Arab (Beirut: Dar Shadir, 1996), juz 13, hlm. 237.

[27] Abu> al-Qa>sim al-H{usaini bin Muhammad al-Ra>gib al-As}fahani>, al-Mu’jam al-Mufrada>t fi Gari>b Al-Qur’a>n (Beirut: Dar El-Marefah, 2005), hlm. 292-293.

[28] Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas terj. Ghufron (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm.144.

[29] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996),  hlm. 285.

[30] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,  hlm. 275-276.

[31] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,  hlm. 290.

[32] Abu> al-Qa>sim al-H{usaini bin Muhammad al-Ra>gib al-As}fahani>, al-Mu’jam al-Mufrada>t fi Gari>b Al-Qur’a>n, hlm. 214-215.

[33] Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Kashiko, 2000), cetakan 1, hlm. 694-695.

[34] Lihat Al-Quran Surah 3:175; 4:76, 83; 19:45; 6:121; 7:27.

[35] Abu> al-Qa>sim al-H{usaini bin Muhammad al-Ra>gib al-As}fahani>, al-Mu’jam al-Mufrada>t fi Gari>b Al-Qur’a>n, hlm. 365.

[36] Lihat Al-Qur’an surah 7:22; 12:5; 17:53; 35:6; 43:62; 6:112.

[37] Abu> al-Qa>sim al-H{usaini bin Muhammad al-Ra>gib al-As}fahani>, al-Mu’jam al-Mufrada>t fi Gari>b Al-Qur’a>n, hlm. 418.

[38] Lihat Al-Qur’an surah 2:268; 24:21.

   


0 komentar:

Copyright @ 2013 IKATAN KELUARGA BESAR HAJI ABU BIN HAJI RAIS.